Welcome to My Blog

Sabtu, 10 September 2011

Perang Bubat ..(part 1)..


Perang Bubat adalah perang yang diceritakan pernah terjadi pada masa pemerintahan raja Majapahit, Hayam Wuruk dengan mahapatihnya Gajah Mada. Perang ini melibatkan sejumlah besar pasukan kerajaan Majapahit pimpinan Mahapatih Gajah Mada melawan sekelompok kecil pasukan kerajaan Sunda pimpinan Prabu Maharaja Linggabuana, di desa pelabuhan Bubat, Jawa Timur pada abad ke-14 di sekitar tahun 1360 masehi.
Pertempuran yang sangat tidak seimbang tsb dimenangkan secara mutlak oleh pihak Majapahit. Pasukan kerajaan Sunda dibantai habis termasuk komandannya yang juga raja kerajaan Sunda, Prabu Maharaja Linggabuana. Dan tidak cuma itu, permaisuri dan putri raja Sunda bernama Dyah Pitaloka Citraresmi – yang sedianya akan dinikahkan dengan raja Hayam Wuruk – ikut tewas dengan cara bunuh diri setelah meratapi mayat ayahnya.
Diceritakan bahwa timbulnya perang ini akibat kesalahpahaman mahapatih Gajah Mada saat melihat raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit sunda. Gajah Mada menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di pelabuhan Bubat sebagai bentuk penyerahan diri kerajaan Sunda kepada Majapahit. Hal ini menimbulkan perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada, dan memuncak hingga terjadi perang terbuka.
Sumber tertua yang bisa dijadikan rujukan mengenai adanya Perang Bubat ternyata hanya sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa Pertengahan berbentuk tembang (syair) dan kemungkinan besar berasal dari Bali, berjudul Kidung Sunda. Pakar sejarah Belanda bernama Prof. Dr. C.C. Berg pada awal tahun 1920an menemukan beberapa versi Kidung Sunda, diantaranya Kidung Sundayana, yang merupakan versi sederhana dari versi aslinya.
Secara analisis, Kidung Sunda harus dianggap sebagai karya sastra, dan bukan sebuah kronik sejarah yang akurat. Meskipun kemungkinan besar berasal dari Bali, tetapi tidak jelas apakah syair tsb. ditulis di Jawa atau di Bali.Kemudian nama penulis tidak diketahui dan masa penulisannyapun tidak diketahui secara pasti. Di dalam teks disebut-sebut tentang senjata api, ini menunjukkan kemungkinan bahwa Kidung Sunda baru ditulis paling tidak sekitar abad ke-16, saat orang nusantara baru mengenal mesiu, kurang lebih dua abad dari era Hayam Wuruk.
Lebih menarik lagi adalah bahwa dalam Kidung Sunda ternyata tidak disebutkan nama raja Sunda, ratu/permaisuri, dan putri raja. Diduga nama Maharaja Prabu Linggabuana dan nama putri Dyah Pitaloka Citraresmi sengaja diambil karena bertepatan pada tahun-tahun 1360an tersebut dia memang merupakan raja Sunda dan putrinya.

Perlu di perhatikan pula bahwa catatan peristiwa Perang Bubat tidak terdapat di dalam kitab utama peninggalan Majapahit, Negarakretagama, yang notabene ditulis oleh empu Prapanca sekitar tahun 1365 (satu tahun sepeninggal Gajah Mada). Adalah hampir tidak mungkin jika peristiwa besar sekaliber Perang Bubat dan belum lama terjadi tidak tercatat dalam kitab itu. Hanya disebutkan bahwa desa Bubat adalah suatu tempat yang memiliki lapangan yang luas, dan raja Hayam Wuruk pernah mengunjunginya untuk melihat pertunjukan seni dan hiburan.
Sebenarnya peristiwa bubat ini adalah upaya daripada devide et impera yang dilancarkan oleh para penjajah belanda yang kemudia di kembangkan dan dilestarikan kembali oleh penjajah bangsa Nusnatara yang bernama Indonesia saat ini, bersama dengan penguasa Negara kesatuan republic Indonesia, devide et impera terus dilestarikan, hukum belanda yang merupakan produk hokum pemjajah untuk melestarikan penjajahannya juga terus dilestarikan Perlu dikemukakan bahwa sang penulis Kidung Sunda (yang belum diketahui orangnya) lebih berpihak pada orang Sunda dan seperti sudah dikemukakan, seringkali bertentangan dengan sumber-sumber sejarah lainnya.
Sepertinya kita perlu curiga bahwa cerita tentang Perang Bubat dalam Kidung Sunda adalah fiksi belaka dan merupakan rekayasa dari pihak penjajah (Belanda ?) untuk tujuan perpecahan antar suku di pulau Jawa. Bisa jadi syair tersebut diciptakan sendiri oleh ilmuwan Prof. Dr. C.C.Berg atas perintah penguasa kolonial. Hal ini perlu adanya kajian yang lebih mendalam.Akibat yang fatal yang telah dirasakan oleh bangsa kita atas rekayasa tersebut (kalau memang benar) adalah adanya sikap etnosentrisme orang Sunda terhadap orang Jawa, dan juga pandangan yang sangat negatif orang Sunda terhadap tokoh/figur Gajah Mada (di Jawa Barat hingga saat ini mungkin tidak ditemukan nama jalan; Gajah Mada).
Semoga bangsa kita tetap bersatu dan tidak ada lagi rasa sentimen kesukuan. Karena sikap etnosentrisme tidak lain adalah hasil dari rekayasa politik pemecah belah si penjajah.Sejarah tak bisa ditutup-tutupi, apalagi dihilangkan. Sedalam apapun dipendam, bahkan dikubur sekalipun, suatu saat sejarah akan terangkat muncul dan menampakkan diri ke permukaan sebagai pengakuan kebenaran. Salah satu peristiwa lama yang selama ini terpendam adalah menyangkut Perang Bubat cerita tentang perang tersebut tidak dilengkapi data akurat.Buktinya penggalian purbakala di Trowulan dan di lapangan Bubat, tak ada temuan yang dapat mendukung terjadinya peristiwa itu.Bubat dilukiskan sebagai bandar tempat kapal atau perahu berlabuh karena terletak di tepi sebatang sungai besar. Di sana terdapat sebuah lapangan upacara yang luas tempat dipusatkan keramaian atau upacara kenegaraan dan keagamaan. Jika ingin menghadiri upacara tersebut, Raja Hayam Wuruk datang ke Bubat dengan mengendarai kereta yang ditarik empat ekor kuda.
Pusat Kerajaan Majapahit pun berbeda dengan anggap-an awam selama ini yang membayangkan tempat tersebut sebagai sebuah wilayah yang dikelilingi tembok tinggi sebagai benteng pertahanan. Pusat kota Kerajaan Majapahit dikelilingi oleh kanal-kanal yang saling berpotongan sehingga membentuk areal yang berbentuk segi empat. lokasi Bubat bukan sebagai pusat kerajaan Majapahit, di sekitar Bubat diperkirakan sebagai lingkungan yang padat penduduk. Seharusya jika terjadi peperangan, tentulah diketahui oleh masyarakat sekitar. Kalaupun terjadi pertempuran, barangkali bukan pertempuran besar. Arkeolog Universitas Indonesia Agus Aris Munandar belum pernah mendatangi langsung tempat yang disebut-sebut sebagai lokasi pecahnya Perang Bubat "Menurut informasi, lapangan Bubat itu sekarang berada di Desa Tempuran. Tempuran yang dimaksud bukan pertemuan antara dua sungai, tetapi tempat bertempumya pasukan-pasukan zaman dulu," katanya.
Bubat bisa jadi berasal dari kata "butbat"yang berarti jalan yang lega dan lapang.biasanya pada sebuah situs peperangan ditemukan benda-benda arkeologi yang bisa menjadi bukti terjadi perang. Misalnya ditemukan tombak dan keris yang berceceran.Nmun pada peristiwa Bubat ini, sanagt miskin bukti arkeologi. Bahkan bisa dibilang, belum ada bukti arkeologinya. Peristiwa sejarah akan lebih dipercaya jika mempunyai bukti-bukti arkeologi. Apalagi kalau sampai ada prasasti yang menerangkannya, tidak akan bisa dibantah.

Bukti arkeologi akan memperkuat bukti sejarah yang berupa naskah-naskah kuno. Naskah kuno biasanya sudah melalui proses penyalinan berkali-kali sehingga memungkinkan adanya perubahan dari naskah aslinya Tetapi setidaknya terdapat empat naskah Sunda kuno yang menyebut peristiwa Bubat, meski dalam versi yang berbeda-beda. Oleh karena itu, peristiwa ini juga tidak bisa diabaikan begitu saja. "Bukan berarti peristiwa itu tidak pernah ada," katanya.Bernard H.M. Vlekke, Guru Besar Universitas Leiden, Belanda, penulis buku Nusantara. Sejarah Indonesia, menyebutkan bahwa lokasi Bubat yang diambil dari Kidung Sunda. Bubat adalah sebuah lapangan besar di sebelah utara Trowulan, ibu) kota Majapahit…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar